Ev. Asriningrum, M.K.
Etika konseling berarti suatu aturan yang harus dilakukan oleh seorang konselor dan hak-hak klien yang harus dilindungi oleh seorang konselor.
Ada empat etika yang penting:
Etika pertama disebut: Profesional Responsibility. Selama proses konseling berlangsung, seorang konselor harus bertanggung jawab terhadap kliennya dan dirinya sendiri.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Responding fully, artinya konselor harus bertanggung jawab untuk memberi perhatian penuh terhadap klien selama proses konseling.
Konselor tidak melakukan konseling ketika energi, atensi dan motivasinya dibuyarkan oleh skedul yang terlalu padat, masalah-masalah pribadi, dll. Mengapa demikian? Itu pertanggungjawaban kita sebagai seorang konselor. Kalau kita sedang letih atau bosan ataupun sedang sibuk mengerjakan sesuatu, kita sulit memberi perhatian kepada seseorang. Kecuali kalau mendesak, tiba-tiba orang yang mau konseling sudah datang.
Di dalam empathy dan listening, yang merupakan teknik dasar dari konseling, kita membutuhkan konsentrasi yang penuh. Jadi kalau kita sedang bosan, punya masalah banyak, bagaimana kita bisa berkonsentrasi secara penuh? Konseling adalah suatu pelayanan yang sangat menguras energi. Oleh karena itu pelayanan ini adalah sebuah pelayanan yang tidak mudah. Kita harus konsentrasi dari awal sampai akhir konseling. Apa yang dikatakan oleh klien, pikiran kita menganalisa, melihat sebetulnya apa yang sedang dirasakan oleh klien, apa yang ada dalam pikiran dan hati klien. Kalau kita tidak fully attentive, konseling tidak akan berlangsung. Itu berarti kita tidak bertanggung jawab. Biasanya saya kalau konseling harus ada appointment dulu supaya saya siap. Kalau kita keliru menghadapi seseorang, maka kita akan membuat orang tersebut sengsara. Itu tidak bertanggung jawab.
Konselor harus dapat mengukur kekuatannya supaya dapat melakukan konseling dengan baik. Mengukur kekuatan itu dalam arti bahwa seseorang tahu betul seberapa kuat dia mengkonseling. Kita tidak boleh terlalu memaksakan diri. Kalau hari ini saya hanya bisa mengkonseling tiga orang, ya jangan dipaksakan untuk mengkonseling lima orang. Tiap-tiap konselor punya kekuatan berbeda. Semakin ahli seseorang semakin mudah dia berkonsentrasi dalam konseling. Tetapi itupun dia harus tetap harus mengukur kekuatannya.
Konselor juga harus bertanggung jawab atas kesuksesan konseling. Oleh karena itu ia harus menyadari kompetensinya dan tidak melakukan konseling di luar kompetensinya meskipun ia sangat tertarik. Ini etika yang sangat penting. Misalnya, saya tidak akan mengkonseling anak-anak penyandang autisma, karena itu bukanlah keahlian saya. Sangat tidak bertanggung jawab kalau saya mengkonseling anak-anak itu. Jadi kita harus melihat keahlian kita itu sampai di mana.
Di dalam pelajaran empathy dan listening, kalau kita tidak bisa mengeksplorasi dan menganalisa permasalahan klien, kita bukan menolong, malah membuat masalah tambah rumit. Misalnya juga kalau dalam kepribadian klien ada yang tidak saya mengerti, saya tidak akan melakukan konseling. Itu professional, dan kita tidak perlu merasa bahwa seolah-olah kita tidak mampu. Dalam dunia konseling itu adalah hal yang biasa.
Konselor harus bersedia merujuk klien ke konselor lain apabila ia merasa tidak mampu menangani seorang klien yang datang padanya. Sebagai konselor kita harus mempunyai sikap demikian. Ada beberapa alasan seorang konselor tidak bisa menangani kasus konselenya. Misalnya karena kasusnya atau akibatnya bisa menimbulkan hal-hal yang tidak baik (pada kasus-kasus hysteria), atau kita merasa lebih baik ditangani konselor wanita, dana seterusnya. Dengan keahlian kita, kita bisa melihat bahwa klien ini harus kita refered ke orang lain. Itu tindakan professional. Misalnya juga kalau saya melihat klien ini tidak bisa maju-maju kalau konseling dengan saya (konseling juga cocok-cocokan) atau kesuksesan konseling itu kecil, saya harus refered ke konselor lain. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban dari seorang konselor. Walaupun kita begitu tertarik dengan kasusnya, kita jangan merasa kecewa kalau kita tidak bisa menangani. Mungkin dia tidak cocok dengan kita. Setiap konselor harus memprediksi kesuksesan konseling, sampai di mana bisa berhasil. Kita harus membangun sikap profesional kita, bukan atas dasar ingin membantu atau tertarik.
2. Terminating appropriately. Kita harus bisa melakukan terminasi (menghentikan proses konseling) secara tepat.
Konselor harus menghentikan proses konseling tepat waktu. Tetapi bukan karena merasa bosan, frustasi, marah. Dalam konseling, biasanya konseling membutuhkan lebih dari satu waktu pertemuan. Kalau kita sungguh-sungguh mau menolong orang tersebut, maka ada jangka waktunya. Bisa setengah tahun, setahun, atau dua tahun. Kita bertanggung jawab penuh terhadap pemulihan orang tersebut. Itu akan sangat menguras energi. Kadang-kadang sebagai manusia kita bisa menjadi marah, misalnya pada kasus-kasus khusus seperti perselingkuhan, orang-orang yang berkanjang dalam dosa, hal ini bisa menjadikan konselor ingin marah. Tetapi itu tidak bisa menjadikan sebuah alasan untuk menghentikan proses konseling.
Kadang-kadang kita bertemu dengan klien yang mengulang-ulang masalah yang itu-itu saja. Kita harus meminta kepada agar Tuhan menganugerahkan kepada kita rasa cinta kasih kepada klien-klien kita. Tidak semua klien kita menyenangkan. Belum lagi kalau ketemu dengan klien yang marah kepada kita (namanya juga lagi sakit atau bermasalah)! Dalam kriteria seorang konselor, di antaranya adalah konselor harus siap dimarahi oleh klien, dibentak-bentak, kalau klien sedang resisten atau transference. Konselor harus bisa menghadapinya.
Konselor harus mampu menghadapi perasaan-perasaan tersebut baik secara intarpersonal maupun interpersonal supaya hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses konseling. Relasi antara konselor dan klien juga relasi dari dua orang manusia, berarti juga ada interpersonal relationship, apalagi kalau klien itu sudah kita dampingi lebih dari satu tahun, setengah tahun, tentunya kita membina relasi dengan klien kita.
Relasi itu bisa juga kadang-kadang kurang baik, karena mungkin klien kurang siap saat kita mengkonfrontasi dia. Tapi kita harus berdamai dengan perasaan-perasaaan tersebut. Karena itu seorang konselor harus mempunyai modal yang kuat, karena untuk menangani hal-hal seperti ini butuh juga tenaga yang besar. Misalnya ada masalah dengan hal-hal intrapersonal, contohnya klien salah mengerti dengan kita, kita harus memberi penjelasan. Itu juga bisa mempengaruhi intrapersonal kita. Kadang-kadang kita berpikir, "Emang gue yang perlu kamu? Saya kan mau menolong kamu, kok kamu merongrong saya terus!"
Kadang-kadang ada perasaan seperti itu. Tapi hal itu harus bisa diselesaikan dan dimanfaatkan untuk proses konseling. Hal-hal tersebut kita bisa pakai untuk kesembuhan klien. Misalnya klien marah kepada kita, jadwal konseling dibatalkan. Mungkin klien menganggap kita tidak mau menolong dia. Sebagai manusia, kadang kita bisa jengkel, tapi justru kita harus mengatasi hal itu. Misalnya setelah si klien marah-marah, kita bisa bertanya mengapa marah, apa perasaanmu? Ya, saya merasa tertolak kalau jadwal konseling cancelled. Nah, justru pada saat klien selesai mengungkapkan perasaannya, kemarahannya itu bisa kita tanggapi dengan baik karena bisa menjadi salah satu proses kesembuhan.
Konselor juga tidak seharusnya menahan klien terlalu lama, apalagi jika konselor merasa memperoleh keuntungan dari klien tersebut. Tidak tertutup kemungkinan dan banyak terdapat klien-klien yang sangat manis. Bahkan ada yang cenderung mendewakan kita, karena dia merasa kita mengerti dia. Kalau kita tidak membangun mentalitas seorang konselor, tanpa sadar kita bisa malah berusaha tidak menghentikan konselingnya, karena bisa mendapatkan keuntungan. Keuntungan itu bisa bermacam-macam, ada keuntungan emosional atau keuntungan secara material. Di Indonesia mungkin lebih dominan keuntungan emosional, perasaan bangga, perasaan tersanjung. Hal itu tidak boleh terjadi. Karena sesungguhnya pelayanan konseling itu jadi berbahaya kalau klien menyanjung. Konselor harus waspada dengan hal tersebut.
3. Evaluating the relationship. Relasi antara konselor dan klien haruslah relasi yang terapeutik namun tidak menghilangkan yang personal.
Apa yang disebut dengan relasi yang terapeutik? Relasi terapeutik adalah relasi yang menyembuhkan. Kita harus bisa membedakan konseling yang sekedar curhat dan yang terapeutik. Hubungan konselor dan klien adalah hubungan yang menyembuhkan. Sekalipun profesional, kita tidak boleh menghilangkan relasi yang personal, misalnya kita melihat relasi itu sebagai teman. Kita harus tahu batasnya. Kalau relasi kita hanya personal, kita hanya menjadi pendengar curahan hati semata-mata. Relasi antara konselor dan klien tidak boleh terlalu personal sehingga klien menjadi overdependent, atau menjadi relasi yang saling memanfaatkan. Jika terjadi demikian maka konselor harus bertanggung jawab untuk menghentikan proses konseling.
Sering terjadi kalau terlalu personal, klien akan sangat tergantung pada kita. Maka kita harus menjaga jarak. Kita harus tahu kapan klien akan bergantung pada kita. Kalau itu terjadi, kita jadi tidak lagi objektif. Kemampuan kita melihat masalah, kemampuan kita merefleksikan apa yang menjadi perasaan klien, akan menjadi sulit kalau relasi kita terlalu personal. Maka relasi yang dibangun antara konselor dan klien itu harus relasi yang terapeutik.
Karena itu dalam pelajaran empathy dan listening, seorang konselor jangan mengeksplorasi hal-hal yang tidak terlalu perlu. Contoh: kita punya klien yang bekerja di bank. Karena kebetulan sedang membutuhkan kredit, kita memanfaatkan klien kita. ini tidak profesional dan bisa mengganggu proses konseling. Jika terjadi demikian maka konselor harus bertanggung jawab untuk menghentikan proses konseling. Kita bisa me-refer klien kita ke konselor yang lain. Godaan yang seperti ini dan besar sekali kemungkinannya. Oleh karena itu konselor harus bisa mengevaluasi hubungan seperti apa antara dia dengan kliennya.
Waktu saya menjadi konselor di sebuah sekolah, saya mengkonseling seorang anak kelas dua. Beberapa hari kemudian, walaupun tidak dijadwalkan, anak itu selalu datang sama saya, selalu kirim kartu. Saya mulai waspada, anak ini mulai menggantungkan dirinya kepada saya, sehingga saya tidak tanggapi.
Sebagai manusia biasa, saya ingin mengayomi, tapi itu tidak saya lakukan. Walaupun dia perempuan. Coba kalau saya lakukan, misalnya saya telepon dia menanyakan keberadaannya, dia nanti akan bergantung pada saya. Jadi setiap kali saya datang dan dia bertemu saya, saya tidak menolak dia, akan tetapi dia akan mempunyai pengertian bahwa saya tidak bisa maju lebih dalam relasi sebagai konselor dan klien. Tapi kalau sesudah proses konseling, saat saya tidak lagi di sekolah tersebut dan sekarang perempuan tersebut sudah berkeluarga, relasinya sudah menjadi relasi persahabatan, bukan antara konselor dan klien. Saya pernah melakukan satu kali melakukan kesalahan dan itu menjadi pelajaran yang berharga buat saya.
4. Counselor's responsibility to themselves. Konselor harus dapat membangun kehidupannya sendiri secara sehat sehingga ia sehat secara spiritual, emosional dan fisikal.
Mengapa hal ini penting? Seorang konselor harus mempunyai spiritulitas yang sehat supaya dia bisa menolong kliennya bergumul bersama-sama kepada Tuhan. Karena banyak klien-klien itu seringkali mereka tidak tahu apa arti bergumul dengan Tuhan. Kalau kita sebagai konselor tidak memperhatikan kerohanian kita, kita akan sulit dalam mengkonseling.
Dalam pengalaman konseling, saya belajar bahwa saya harus memperhatikan pertumbuhan rohani saya. Karena siapa sih yang bisa mengubah hati manusia? Tidak ada! Kita juga tidak bisa, sekalipun kita konselor. Yang bisa mengubah manusia hanya Tuhan. Jadi kita harus sangat memperhatikan pertumbuhan rohani kita. Saya sangat mengamini hal ini. Pilar dari pelayanan konseling adalah doa. Kadang-kadang kita menemui orang yang begitu sulit, masalah yang sangat rumit, tapi Tuhan memberi pencerahan kepada kita, bagaimana kita bisa menolong orang tersebut. Mungkin secara ilmu pengetahuan, analisa kita baik, tapi kadang-kadang orang itu membutuhkan faktor lain. Kalau kita tidak melihat pertumbuhan rohani kita, jangan kita mengkonseling. Itu tidak bertanggung jawab.
Kita juga perlu membangun kehidupan emosional yang sehat. Artinya, kita mempunyai relasi yang baik dengan orang lain, kita belajar untuk menyelesaikan masalah-masalah kita sendiri. Kalau emosi kita tidak sehat, bisa-bisa klien jadi sasaran kita. Klien yang tidak salah bisa kita marahi.
Bagaimana membangun emosi yang sehat? Syarat utamanya adalah seorang konselor sudah lebih dahulu dikonseling. Saya dikonseling selama bertahun-tahun, supaya saya siap. Kalau tidak sehat secara emosi, kita bisa collaps. Akhirnya proses konseling kita merupakan campur-adukan emosi, antara antara emosi klien dan emosi kita. Kita harus memilah antara emosi klien dan emosi kita. Kemarahan klien bisa-bisa menjadi kemarahan kita. Selain pernah dikonseling, konselor juga perlu membangun kebutuhan fisiknya. Hal ini perlu supaya kita bisa konsentrasi, tidak mengantuk.
Konselor harus tahu batasan dalam relasinya dengan klien. Konselor haruslah berperan sebagai konselor. Relasi yang profesional harus kita bangun karena relasi itu berperan dalam proses konseling. Kita tidak boleh menjadi orangtua klien. Itu bisa membuat klien tidak bertanggung jawab. Hati-hati, jangan berperan sebagai pasangan klien kita. Kalau klien itu sedang bermasalah dengan suaminya, istrinya, pacarnya, kita jangan terlibat terlalu dalam. Kalau kita berperan menjadi pasangan, kita bisa jatuh cinta pada klien. Relasi itu juga tidak bisa dalam bentuj atasan dan bawahan.
Walaupun tidak diajari, klien kita sebenarnya tahu batasan-batasan itu. Dia tidak akan menelepon. Kalau dia membutuhkan dia akan hubungi kita. Karena kita sudah membangun batasannya, kita bisa ajarin klien. Klienpun harus diajari bagaimana menjadi klien, kalau tidak kita bisa dirampok secara emosi. Kita harus bisa memulihkan energi kita.
Etika kedua disebut: Confidentiality. Konselor harus menjaga kerahasiaan klien.
Ada beberapa hal yang perlu penjelasan dalam etika ini, yaitu yang dinamakan previleged communication. Artinya konselor secara hukum tidak dapat dipaksa untuk membuka percakapannya dengan klien, namun untuk kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan, hal seperti ini bisa bertentangan aturan dari etika itu sendiri. Dengan demikian tidak ada kerahasiaan yang absolute.
Ketika seorang konselor ditunjuk oleh pengadilan untuk memeriksa seseorang, maka laporan hanya dikirim ke pengadilan, bukan yang lainnya. Kerahasiaan bisa dibuka jika konselor merasa ada indikasi yang akan membahayakan dirinya atau orang lain. Jika klien berumur di bawah 16 tahun dan konselor menemukan ada tanda-tanda bahwa anak tersebut menjadi korban kekerasan maka kerahasiaan bisa dibuka.
Jika konselor dituntut oleh klien dengan tuduhan malpraktek, maka konselor tidak bisa menolak untuk menceritakan isi percakapan dengan kliennya. Mungkin agak jarang terjadi, karena dalam konseling sulit dibuktikan adanya malpraktek, berbeda dengan bidang medis. Ini dikarenakan dalam konseling lebih banyak masalah emosinya saja. Tapi ini bisa saja terjadi.
Ketika konselor membuat report, rekaman, dan lain-lain, klien perlu diberi penjelasan tujuannya apa. Jika akan dipakai untuk keperluan konsultasi atau mengajar atau keperluan lain, konselor harus minta izin kepada klien.
Etika ketiga adalah Conveying Relevant Information to The Person In Counseling. Maksudnya klien berhak mendapatkan informasi mengenai konseling yang akan mereka jalani.
Informasi tersebut adalah:
Counselor qualifications: konselor harus memberikan informasi tentang kualifikasi atau keahlian yang ia miliki. Klien berhak bertanya tentang rujukan-rujukan kepada konselor apabila kualifikasi konselor kurang sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Misalnya ada yang ingin konseling tentang masalah anaknya yang penyandang autisma. Kalau konselor tidak memiliki kualifikasi atau keahlian di bidang itu, konselor harus mengakuinya dan me-refer klien ke konselor lain yang mempunyai keahlian dalam masalah anak penyandang autisma. Konselor juga memberikan informasi tentang biaya yang diperlukan selama konseling.
Counseling consequences : konselor harus memberikan informasi tentang hasil yang dicapai dalam konseling dan efek samping dari konseling, misalnya: Perubahan dalam diri remaja dapat menimbulkan tension bagi orangtuanya. Kemungkinan bisa terjadi orangtua akan menciptakan tension baru bagai remaja sehingga keadaan menjadi lebih buruk dari sebelumnya, khususnya kasus masalah orangtua dan remaja. Perubahan-perubahan dalam diri klien bisa membuat perubahan keseimbangan dalam keluarga. Kalau terjadi perubahaan keadaan yang sepertinya lebih buruk dari sebelumnya, konselor harus memberitahu bahwa itu adalah merupakan sebuah proses dari konseling.
Perubahan dalam diri seseorang akan merobohkan pertahanan (defences) yang selama ini dibangun. Perubahan itu juga bisa membuat seseorang berani mengekspresikan hal-hal yang selama ini belum pernah ia lakukan karena membuat ia merasa kurang nyaman dengan diri sendiri. Ini sering terjadi dalam proses konseling. Klien merasa sudah bukan lagi dirinya sendiri. Hal ini bisa membuat klien terdorong untuk mundur dari konseling. Misalnya orang yang begitu penurut, tidak berani membantah, padahal ini membuat dia tertekan dan menyimpan kemarahan. Setelah konseling, kita ajarkan klien supaya lebih asertif. Setelah dia tahu, dia akan merasa bahwa dia bukan dirinya lagi, dia merasa tidak enak.
Klien diberitahu konsekuensi akan dia hadapi. Mungkin orangtua atau pasangan atau teman-temannya akan mengomentari perubahan yang terjadi. Reaksi yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitar klien biasaya tidak positif. Hal ini bisa membuat kegamangan pada diri klien dan sering ia ingin mundur dalam konseling.
Sebagian klien yang selama ini menekan emosinya (gelisah) setelah menjalani proses konseling, akan out of control. Emosi yang keluar sudah tidak terkontrol lagi, karena emosinya terlalu lama ditekan. Kalau klien merasa aneh, merasa dirinya menjadi jelek karena suka marah-marah, konselor harus menjelaskan pada klien bahwa itu adalah bagian dari proses penyembuhan. Tujuan konselor memberitahu kepada klien adalah supaya klien terus maju dalam proses konseling. Klien harus diberitahu bahwa setiap proses konseling akan terjadi dis-equilibrium, suatu perubahan dari pola lama ke pola baru. Karena orang sudah terbiasa nyaman dengan pola yang lama, ketika dia mencoba dengan cara yang baru, dia akan goncang, terjadi ketidakseimbangan. Konselor harus terus mendorong klien untuk maju, setelah dia belajar berekspresi, baru kita kelola ekspresinya menjadi ekspresi yang manis, pas buat dia. Dengan demikian pemulihan akan terjadi.
Perubahan dalam diri seseorang akan mempengaruhi respon figur-figur signifikan terhadap dirinya. Respon tersebut seringkali dirasakan kurang nyaman. Perubahan dalam diri satu pihak dalam pasangan menyebabkan ketidakseimbangan dalam pernikahan.
Time involved in counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien berapa lama proses konseling yang akan dijalani oleh klien. Konselor harus bisa memprediksikan setiap kasus membutuhkan berapa kali pertemuan. Misalnya konselor dank lien bertemu seminggu sekali selama 15 kali, kemudian sebulan sekali, dan setahun sekali.
Alternative to counseling: konselor harus memberikan informasi kepada klien bahwa konseling bukanlah satu-satunya jalan untuk sembuh, ada faktor lain yang berperan dalam penyembuhan, misalnya: motivasi klien, natur dari problem, dll. Jangan sampai klien menganggap konselor sebagai tukang reparasi, seperti reparasi elektronik. Jadi ketika klien datang, dia berharap kesembuhan menjadi tanggung jawab dari konselor. Kita harus ajarkan bahwa kesembuhan adalah tanggung jawab juga klien, termasuk motivasi, kerjasama klien dalam proses konseling. Konselor harus mampu melihat apakah klien memerlukan pertolongan lain, misalnya: self help programs, group therapy, marriage encounter, dll.
Etika keempat, yaitu The Counselor Influence. Konselor mempunyai pengaruh yang besar dalam relasi konseling, sehingga ada beberapa hal yang perlu konselor waspadai yang akan mempengaruhi proses konseling dan mengurangi efektifitas konseling.
Hal-hal tersebut adalah:
The counselor needs : kebutuhan-kebutuhan pribadi seorang konselor perlu dikenali dan diwaspadai supaya tidak mengganggu efektifitas konseling. Karena itu sebelum kita menolong orang lain, kita perlu tahu rasanya ditolong itu seperti apa. Dengan demikian kita tahu kebutuhan kita, mekanisme psikologis seperti apa.
Kebutuhan-kebutuhan yang berpengaruh antara lain:
- konselor punya kepribadian controlling. Jika kita mempunyai kebutuhan untuk mengontrol orang lain, bisa jadi hal itu akan mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan. Ini tidak boleh, kita pasti tahu bahwa keputusan itu ada di tangan klien. Konselor hanya memberikan alternatif, klien yang mengambil keputusan.
- Konselor yang punya kepribadian merasa benar. Kalau kita mempunyai kebutuhan bahwa kita selalu benar, kita cenderung mudah menyalahkan klien, baik dalam persepsi, intepretasi, nilai-nilai hidup. Kita akan cenderung merasa benar. Karenanya, semua persepsi kita sehubungan dengan masalah klien, harus diklarifikasikan dulu. Belum tentu persepsi kita benar.
- Konselor yang punya kepribadian savior syndrom. Kalau kita mempunyai kepribadian seperti ini, kita akan cenderung mengambil tanggung jawab dari klien.
- Konselor yang merasa penting, dihargai (to be important), bisa membuat kita cenderung menjadi suka sama klien, karena klien sudah menyanjung-nyanjung kita.
- Konselor yang punya kebutuhan suatu kedekatan emosi dengan orang lain (to feel & receive afection). Kalau ini adalah kebutuhan kita, maka kita akan menekankan relasi kita dengan klien lebih dari proses konseling itu sendiri. Hubungannya menjadi lebih personal, bukan professional. Orang-orang yang pendiam sulit menjadi konselor karena dia bisa memanfaatkan klien untuk memenuhi kebutuhan emosinya. Konselor yang baik adalah konselor yang bisa membina relasinya dengan sehat.
- Konselor yang punya kecenderungan menciptakan tension. Di dalam proses konseling tidak tertutup kemungkinan akan terjadi tension. Artinya kalau dalam proses konseling klien membantah atau bersikap negatif, maka kita cenderung akan menekan, berusaha untuk menang, maka proses konseling akan terganggu. Orang-orang yang terlalu otoriter, agresif, punya kemarahan yang banyak, akan berpotensi terjadinya tension.
- Konselor yang punya motivasi to make money.
Konselor bertanggung jawab untuk memahami dan menyelesaikan konflik-konflik yang belum terselesaikan dalam diri supaya tidak mengganggu proses konseling. Karena kita ini juga manusia biasa, tentunya kita juga mempunyai masalah. Itu harus diselesaikan atau kita melatih kemampuan kita untuk memilah, meletakkan masalah kita sementara untuk bisa fokus pada proses konseling.
Misalnya kita masih menyimpan kemarahan pada figure otoritas (orangtua, dosen, polisi, dsb), dan ternyata klien juga memiliki kemarahan pada figure yang sama, ini bisa membuat kita bersekutu dengan klien. Perasaan kita dengan klien bisa membaur, seperti ketemu teman. Ini sangat mengganggu proses konseling. Kita tidak bisa menganalisis masalah klien dengan obyektif karena kita masih punya masalah kemarahan pada figur tsb. Oleh karena itu konselor harus terus berlatih untuk bisa memilah antara masalahnya dengan masalah klien.
Authority: pengalaman konselor dengan figur otoritas juga perlu diwaspadai karena akan mempengaruhi proses konseling jika kliennya juga figur otoritas.
Sexuality: konselor yang mempunyai masalah seksualitas yang belum terselesaikan akan mempengaruhi pemilihan klien, terjadinya bias dalam konseling, dan resistance atau negative transference. Misalnya ada konselor yang kurang nyaman dengan klien yang lawan jenis. Hal ini mungkin karena masih ada problem seksualitas yang belum terselesaikan. Terjadi bias. Kalau kita punya masalah dengan klien lawan jenis, mungkin kita akan berkata, "Dasar laki-laki!" atau "Wanita memang cengeng."
The counselor `s moral and religius values: nilai moral dan religius yang dimiliki konselor akan mempengaruhi persepsi konselor terhadap klien yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ia pegang. Konselor harus tahu menempatkan hal-hal tersebut secara tepat sehingga tidak merugikan klien dan tidak menganggu proses konseling. Konseling juga bukan penginjilan sehingga konselor tidak seharusnya memaksakan kepercayaannya kepada kliennya, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya jalan yang dibukakan oleh Tuhan untuk penginjilan.
No comments:
Post a Comment