[ Senin, 01 Desember 2008 ]
Rapor pemerintah Indonesia dalam menanggulangi problem persebaran HIV/AIDS termasuk merah. Sepuluh tahun terakhir, datanya terus meningkat secara signifikan.
-------
Berdasar laporan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Departemen Kesehatan (PP & PL Depkes) selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Hingga September 2008, totalnya sudah 14.928 penderita.
Ditjen PP & PL Depkes sebenarnya merekam data penderita AIDS di Indonesia sejak 1987. Tapi, jumlahnya naik cukup tajam sejak 1998. Jika pada 1998 jumlah penderita AIDS yang terdeteksi baru 60 orang, tahun 2000 sudah 255 orang. Peningkatan cukup tajam juga terjadi antara 2003-2004. Jika pada 2003 jumlah penderita AIDS 316 orang, setahun berikutnya menjadi 1.195 orang.
Peningkatan cukup tajam juga diperkirakan bakal terjadi antara 2007 - 2008. Pada 2007, jumlah penderita AIDS tercatat 2.974 orang. Tahun 2008 hingga September, jumlahnya sudah meningkat hingga 3.995 orang.
Infeksi AIDS terbanyak yang dilaporkan berdasar peringkat berturut-turut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua. dan Bali. Tapi, jika dilihat secara keseluruhan (total jumlah penderita HIV + AIDS + yang meninggal), DKI tertinggi. Papua menduduki peringkat kedua. Jumlah orang yang terinfeksi HIV di provinsi itu masih tertinggi di Indonesia.
''Secara global, kasus HIV/AIDS sudah menunjukkan tanda-tanda stabil. Namun, di Indonesia, epidemi masih terus berlangsung. Bahkan, dewasa ini kita tercatat sebagai negara dengan laju epidemi tercepat di Asia,'' kata Nafsiah Mboi, sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, ketika ditemui di Jakarta, kemarin.
Ironisnya, lanjut dia, proporsi kumulatif kasus HIV/AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia produktif. Antara lain, usia 20-29 tahun (53,46 persen), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,9 persen), dan kelompok umur 40-49 tahun (7,69 persen).
Berdasar hasil survei terpadu HIV dan perilaku tahun 2007, prevalensi di kalangan populasi kunci yang berisiko tertular telah mencapai 9,5 persen di kalangan pekerja seks komersial (PSK). Lainnya, 5,2 persen di kalangan homoseksual dan 52,4 persen pada pengguna narkoba suntik. Dengan situasi seperti itu, kasus HIV/AIDS di tanah air akan terus meningkat hingga tahun 2020, dengan rata-rata per tambahan 5 persen penderita baru per tahun. ''Kalau saya boleh katakan sekarang kondisi Indonesia sudah akut dan KPAN bisa dibilang gagal. Tapi, kami belum menyerah.'' terang Nafsiah.
Aktivis perempuan itu mengeluhkan sulitnya menjalin kerja sama dan membangkitkan kesadaran di kalangan masyarakat Indonesia. Dia mengungkapkan, salah satu kendala utama dalam penanganan HIV/AIDS di tanah air adalah resistansi masyarakat terhadap upaya pencegahan dan perawatan korban terinveksi HIV/AIDS. Terutama menyangkut sosialisasi kondom, terapi metadon, dan beberapa program lain yang dinilai bertentangan dengan nilai kultur ketimuran. ''Problem lain yang juga sulit diatasi adalah kendala kontinuitas penggunaan kondom pada PSK,'' terang dia.
Berdasar data KPA, jumlah PSK yang menggunakan kondom selama tiga bulan pada 2004 sama dengan pada 2008, yakni pada kisaran 36 persen. Artinya, kesadaran untuk melindungi diri dari penyakit menular seksual pada kalangan profesi berisiko tinggi tersebut masih rendah. ''Namun, penggunaan kondom pada kaum laki-laki berisiko, seperti pelaut, pengemudi truk, sopir taksi dan ojek, serta pekerja pelabuhan meningkat. Jumlah klinik yang melayani terapi metadon pun bertambah,'' tegas dia.
Menurut Nafsiah, penularan lewat jarum suntik saat ini naik dan mencapai 55 persen dari total pengidap.
Direktur penanggulangan penyakit menular langsung yang juga pelaksana tugas Dirjen PP&PL Depkes RI dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K) DTMH menilai bahwa angka prevalensi HIV secara umum di Indonesia masih cukup rendah (0,16 persen).
Namun, sejak 1990, prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi meningkat. Kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) yang terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan kelompok lain memberikan kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi.
Angka prevalensi HIV pada wanita penjaja seks (WPS) tertinggi terdapat di Papua 15,9 persen, berikutnya Bali 14,1 persen, Batam 12,3 persen, Jawa Barat 11,6 persen, Jakarta 10,2 persen, Jawa Tengah 6,6 persen, Jawa Timur 6,5 persen, dan Medan 6,1 persen.
Tjandra menambahkan, berdasar hasil estimasi tahun 2006, jumlah waria di Indonesia sekitar 20.960 hingga 35.300. Angka prevalensi HIV pada waria sangat tinggi di Jakarta (34 persen), Surabaya (25,2 persen), dan Bandung (14 persen).
Kelompok LSL (laki-laki suka laki), prevalensi HIV tertinggi di Jakarta (8,1 persen), Surabaya (5,6 persen), dan Bandung (2,0 persen). (iw/zul/noe/kum)
(Diambil dari: http://www.jawapos.co.id/)
-------
Berdasar laporan Ditjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Departemen Kesehatan (PP & PL Depkes) selama sepuluh tahun terakhir, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Hingga September 2008, totalnya sudah 14.928 penderita.
Ditjen PP & PL Depkes sebenarnya merekam data penderita AIDS di Indonesia sejak 1987. Tapi, jumlahnya naik cukup tajam sejak 1998. Jika pada 1998 jumlah penderita AIDS yang terdeteksi baru 60 orang, tahun 2000 sudah 255 orang. Peningkatan cukup tajam juga terjadi antara 2003-2004. Jika pada 2003 jumlah penderita AIDS 316 orang, setahun berikutnya menjadi 1.195 orang.
Peningkatan cukup tajam juga diperkirakan bakal terjadi antara 2007 - 2008. Pada 2007, jumlah penderita AIDS tercatat 2.974 orang. Tahun 2008 hingga September, jumlahnya sudah meningkat hingga 3.995 orang.
Infeksi AIDS terbanyak yang dilaporkan berdasar peringkat berturut-turut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua. dan Bali. Tapi, jika dilihat secara keseluruhan (total jumlah penderita HIV + AIDS + yang meninggal), DKI tertinggi. Papua menduduki peringkat kedua. Jumlah orang yang terinfeksi HIV di provinsi itu masih tertinggi di Indonesia.
''Secara global, kasus HIV/AIDS sudah menunjukkan tanda-tanda stabil. Namun, di Indonesia, epidemi masih terus berlangsung. Bahkan, dewasa ini kita tercatat sebagai negara dengan laju epidemi tercepat di Asia,'' kata Nafsiah Mboi, sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, ketika ditemui di Jakarta, kemarin.
Ironisnya, lanjut dia, proporsi kumulatif kasus HIV/AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia produktif. Antara lain, usia 20-29 tahun (53,46 persen), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,9 persen), dan kelompok umur 40-49 tahun (7,69 persen).
Berdasar hasil survei terpadu HIV dan perilaku tahun 2007, prevalensi di kalangan populasi kunci yang berisiko tertular telah mencapai 9,5 persen di kalangan pekerja seks komersial (PSK). Lainnya, 5,2 persen di kalangan homoseksual dan 52,4 persen pada pengguna narkoba suntik. Dengan situasi seperti itu, kasus HIV/AIDS di tanah air akan terus meningkat hingga tahun 2020, dengan rata-rata per tambahan 5 persen penderita baru per tahun. ''Kalau saya boleh katakan sekarang kondisi Indonesia sudah akut dan KPAN bisa dibilang gagal. Tapi, kami belum menyerah.'' terang Nafsiah.
Aktivis perempuan itu mengeluhkan sulitnya menjalin kerja sama dan membangkitkan kesadaran di kalangan masyarakat Indonesia. Dia mengungkapkan, salah satu kendala utama dalam penanganan HIV/AIDS di tanah air adalah resistansi masyarakat terhadap upaya pencegahan dan perawatan korban terinveksi HIV/AIDS. Terutama menyangkut sosialisasi kondom, terapi metadon, dan beberapa program lain yang dinilai bertentangan dengan nilai kultur ketimuran. ''Problem lain yang juga sulit diatasi adalah kendala kontinuitas penggunaan kondom pada PSK,'' terang dia.
Berdasar data KPA, jumlah PSK yang menggunakan kondom selama tiga bulan pada 2004 sama dengan pada 2008, yakni pada kisaran 36 persen. Artinya, kesadaran untuk melindungi diri dari penyakit menular seksual pada kalangan profesi berisiko tinggi tersebut masih rendah. ''Namun, penggunaan kondom pada kaum laki-laki berisiko, seperti pelaut, pengemudi truk, sopir taksi dan ojek, serta pekerja pelabuhan meningkat. Jumlah klinik yang melayani terapi metadon pun bertambah,'' tegas dia.
Menurut Nafsiah, penularan lewat jarum suntik saat ini naik dan mencapai 55 persen dari total pengidap.
Direktur penanggulangan penyakit menular langsung yang juga pelaksana tugas Dirjen PP&PL Depkes RI dr Tjandra Yoga Aditama SpP(K) DTMH menilai bahwa angka prevalensi HIV secara umum di Indonesia masih cukup rendah (0,16 persen).
Namun, sejak 1990, prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi meningkat. Kelompok pengguna narkoba suntik (penasun) yang terinfeksi HIV dan berinteraksi dengan kelompok lain memberikan kontribusi terhadap peningkatan prevalensi HIV pada kelompok berisiko tinggi.
Angka prevalensi HIV pada wanita penjaja seks (WPS) tertinggi terdapat di Papua 15,9 persen, berikutnya Bali 14,1 persen, Batam 12,3 persen, Jawa Barat 11,6 persen, Jakarta 10,2 persen, Jawa Tengah 6,6 persen, Jawa Timur 6,5 persen, dan Medan 6,1 persen.
Tjandra menambahkan, berdasar hasil estimasi tahun 2006, jumlah waria di Indonesia sekitar 20.960 hingga 35.300. Angka prevalensi HIV pada waria sangat tinggi di Jakarta (34 persen), Surabaya (25,2 persen), dan Bandung (14 persen).
Kelompok LSL (laki-laki suka laki), prevalensi HIV tertinggi di Jakarta (8,1 persen), Surabaya (5,6 persen), dan Bandung (2,0 persen). (iw/zul/noe/kum)
(Diambil dari: http://www.jawapos.co.id/)
No comments:
Post a Comment