[Jum'at, 26 Desember 2008]
Suatu kali uang ditanya, "Di tangan siapakah kamu merasa dan mengalami hal yang paling menyenangkan?" Dengan cepat dan mantap uang menjawab, "Di tangan orang serakah. Sebab, di tangan orang rakus, aku menjadi penguasa. Dengan gampang aku menghasut, bahkan menyuruh mereka untuk tiada lelah mengejar dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Aku benar-benar berkuasa mengatur hidup mereka."
Sebaliknya, "Di tangan siapakah kamu merasa dan mengalami hal yang paling tidak menyenangkan?" Dengan gemetar dan tersendat-sendat uang menjawab, "Di tangan orang sederhana. Sebab, di tangan mereka, aku cuma jadi pembantu. Aku tidak berdaya menghadapi kegigihan mereka dalam mempergunakan dan memanfaatkan diriku." Ini adalah cerita andai uang bisa ngomong.
Krisis ekonomi global telah menyeret krisis sendi-sendi hidup lain yang tidak kalah pentingnya seperti kepercayaan, kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemanusiaan. Sungguh ironis, krisis-krisis tersebut terjadi di zaman modern yang menjanjikan kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan, kesetaraan dan kemajuan. Janji yang terpenuhi baru satu, yakni kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sedangkan janji-janji lainnya belum terpenuhi, kalau tidak mau dibilang kandas tak jelas wujudnya.
Para pengamat dan analis berlomba-lomba melontarkan pendapat dan temuan mereka yang bermuara pada si "kambing hitam" bernama keserakahan, kerakusan, ketamakan, dkk. Boleh jadi, pendapat mereka benar walau tidak sepenuhnya benar. Gaya hidup hedon, instan, dan konsumtif juga berandil besar memicu dan memacu terjadinya krisis sekarang ini. Perubahan gaya hidup ke arah yang berlawanan seperti kesediaan menjalani/mengurai kesulitan, ketekunan, kesabaran, konsistensi, serta mengutamakan kebutuhan daripada keinginan menjadi keniscayaan.
Multidimensi
Natal tahun ini diperingati dan dirayakan dalam suasana krisis multidimensi. Memang tidak mudah memisahkan Natal dari perayaan yang serbameriah, mewah, dan megah. Sebab, ia telanjur melekat dekat dengan perayaan tahun baru. Berjuang menggali makna Natal perdana wajib dilakukan guna mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kemuliaan Natal terjadi dalam kesahajaannya.
Injil Lukas sengaja mengambil nuansa kandang sebagai simbol penolakan dan kesederhanaan serta nuansa padang gurun bersama para gembala sebagai lambang spiritualitas keheningan dan kebersahajaan.
Bagi Lukas, peristiwa Natal perdana terjadi dalam kesederhanaan. Allah yang agung mau menjelma menjadi bayi mungil nan kudus dalam kandang sederhana dan disambut oleh orang-orang sederhana, yakni para gembala di padang gurun. Willi Hoffsuemmer berkisah tentang jerami dalam palungan Natal. Ketika para gembala dari padang gurun mengunjungi Yesus sang Natal, salah seorang di antara mereka membawa pulang beberapa potong jerami dari palungan. "Apa yang engkau bawa dalam tanganmu?" tanya salah seorang gembala. "Ah, hanya beberapa potong jerami dari palungan tempat bayi Yesus berbaring" jawabnya kalem. "Jerami? Itu hanya sampah! Buanglah saja!" seru teman-temannya sambil tertawa.
Gembala muda itu menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak! Saya akan tetap menyimpannya. Potongan jerami ini mengingatkan saya pada sang bayi itu dan apa yang telah disampaikan para malaikat tentang Dia."
Pada hari berikutnya, teman-temannya bertanya, "Apakah engkau masih memiliki potongan-potongan jerami itu? Lihatlah! Mengapa engkau tidak membuang saja jerami-jerami yang tak berguna itu?" Dengan lantang dia menjawab, "Tidak, bukannya tidak berguna! Bayi Yesus telah berbaring di atasnya!"
"Bayilah yang terpenting, bukan jeraminya," sindir teman lainnya. "Di sinilah letak kesalahan kalian semua. Jerami ini mempunyai satu nilai. Jika tidak ada jerami dalam palungan, dengan apa kiranya sang bayi malang itu dibaringkan? Potongan jerami ini mengatakan sesuatu kepadaku bahwa Allah memakai hal-hal kecil dan sederhana yang tampak tidak berguna. Allah memerlukan kita, orang-orang kecil dan sederhana untuk membantu-Nya melakukan karya penyelamatan di dunia ini," jelas si gembala muda tersebut.
Hal-hal kecil dan sederhana makin tersingkir dari kehidupan modern yang mengagungkan dan mengunggulkan megalomania. Kemewahan dan kemegahan dengan segala daya pikatnya kian meminggirkan kearifan si gembala muda yang menggemakan kesederhanaan.
Padahal, dalam kesederhanaan terpancar daya hidup yang tulus ikhlas, sedia berbagi dan bersaling, peka pada derita sesama, berpikir jernih, tak mudah dikuasai oleh materi dan uang, serta sedia berperan dan berfungsi sebagaimana Tuhan melibatkan dirinya.
Helena Petrovna Blavatsky, penggagas teosofi, bertutur: "Selalulah tampil sederhana jika ingin menjadi bijaksana. Tetaplah tampil sederhana walau telah mampu menjadi bijaksana." Kiranya, Natal dalam kesederhanaan membahana di nusantara tercinta sehingga perilaku hidup sederhana tidak lagi membutuhkan imbauan para pejabat, apalagi para petinggi yang nyata-nyata tidak menjadi teladan dalam kesederhanaan hidupnya. Siapa tahu, dengan semangat hidup sederhana, kita dapat menghadapi krisis yang sedang terjadi saat ini. Selamat Natal dalam kesederhanaan.
Sebaliknya, "Di tangan siapakah kamu merasa dan mengalami hal yang paling tidak menyenangkan?" Dengan gemetar dan tersendat-sendat uang menjawab, "Di tangan orang sederhana. Sebab, di tangan mereka, aku cuma jadi pembantu. Aku tidak berdaya menghadapi kegigihan mereka dalam mempergunakan dan memanfaatkan diriku." Ini adalah cerita andai uang bisa ngomong.
Krisis ekonomi global telah menyeret krisis sendi-sendi hidup lain yang tidak kalah pentingnya seperti kepercayaan, kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemanusiaan. Sungguh ironis, krisis-krisis tersebut terjadi di zaman modern yang menjanjikan kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan, kesetaraan dan kemajuan. Janji yang terpenuhi baru satu, yakni kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Sedangkan janji-janji lainnya belum terpenuhi, kalau tidak mau dibilang kandas tak jelas wujudnya.
Para pengamat dan analis berlomba-lomba melontarkan pendapat dan temuan mereka yang bermuara pada si "kambing hitam" bernama keserakahan, kerakusan, ketamakan, dkk. Boleh jadi, pendapat mereka benar walau tidak sepenuhnya benar. Gaya hidup hedon, instan, dan konsumtif juga berandil besar memicu dan memacu terjadinya krisis sekarang ini. Perubahan gaya hidup ke arah yang berlawanan seperti kesediaan menjalani/mengurai kesulitan, ketekunan, kesabaran, konsistensi, serta mengutamakan kebutuhan daripada keinginan menjadi keniscayaan.
Multidimensi
Natal tahun ini diperingati dan dirayakan dalam suasana krisis multidimensi. Memang tidak mudah memisahkan Natal dari perayaan yang serbameriah, mewah, dan megah. Sebab, ia telanjur melekat dekat dengan perayaan tahun baru. Berjuang menggali makna Natal perdana wajib dilakukan guna mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kemuliaan Natal terjadi dalam kesahajaannya.
Injil Lukas sengaja mengambil nuansa kandang sebagai simbol penolakan dan kesederhanaan serta nuansa padang gurun bersama para gembala sebagai lambang spiritualitas keheningan dan kebersahajaan.
Bagi Lukas, peristiwa Natal perdana terjadi dalam kesederhanaan. Allah yang agung mau menjelma menjadi bayi mungil nan kudus dalam kandang sederhana dan disambut oleh orang-orang sederhana, yakni para gembala di padang gurun. Willi Hoffsuemmer berkisah tentang jerami dalam palungan Natal. Ketika para gembala dari padang gurun mengunjungi Yesus sang Natal, salah seorang di antara mereka membawa pulang beberapa potong jerami dari palungan. "Apa yang engkau bawa dalam tanganmu?" tanya salah seorang gembala. "Ah, hanya beberapa potong jerami dari palungan tempat bayi Yesus berbaring" jawabnya kalem. "Jerami? Itu hanya sampah! Buanglah saja!" seru teman-temannya sambil tertawa.
Gembala muda itu menggelengkan kepala dan berkata, "Tidak! Saya akan tetap menyimpannya. Potongan jerami ini mengingatkan saya pada sang bayi itu dan apa yang telah disampaikan para malaikat tentang Dia."
Pada hari berikutnya, teman-temannya bertanya, "Apakah engkau masih memiliki potongan-potongan jerami itu? Lihatlah! Mengapa engkau tidak membuang saja jerami-jerami yang tak berguna itu?" Dengan lantang dia menjawab, "Tidak, bukannya tidak berguna! Bayi Yesus telah berbaring di atasnya!"
"Bayilah yang terpenting, bukan jeraminya," sindir teman lainnya. "Di sinilah letak kesalahan kalian semua. Jerami ini mempunyai satu nilai. Jika tidak ada jerami dalam palungan, dengan apa kiranya sang bayi malang itu dibaringkan? Potongan jerami ini mengatakan sesuatu kepadaku bahwa Allah memakai hal-hal kecil dan sederhana yang tampak tidak berguna. Allah memerlukan kita, orang-orang kecil dan sederhana untuk membantu-Nya melakukan karya penyelamatan di dunia ini," jelas si gembala muda tersebut.
Hal-hal kecil dan sederhana makin tersingkir dari kehidupan modern yang mengagungkan dan mengunggulkan megalomania. Kemewahan dan kemegahan dengan segala daya pikatnya kian meminggirkan kearifan si gembala muda yang menggemakan kesederhanaan.
Padahal, dalam kesederhanaan terpancar daya hidup yang tulus ikhlas, sedia berbagi dan bersaling, peka pada derita sesama, berpikir jernih, tak mudah dikuasai oleh materi dan uang, serta sedia berperan dan berfungsi sebagaimana Tuhan melibatkan dirinya.
Helena Petrovna Blavatsky, penggagas teosofi, bertutur: "Selalulah tampil sederhana jika ingin menjadi bijaksana. Tetaplah tampil sederhana walau telah mampu menjadi bijaksana." Kiranya, Natal dalam kesederhanaan membahana di nusantara tercinta sehingga perilaku hidup sederhana tidak lagi membutuhkan imbauan para pejabat, apalagi para petinggi yang nyata-nyata tidak menjadi teladan dalam kesederhanaan hidupnya. Siapa tahu, dengan semangat hidup sederhana, kita dapat menghadapi krisis yang sedang terjadi saat ini. Selamat Natal dalam kesederhanaan.
*. Simon Filantropha, pendeta aktif menulis di media
http://jawapos.co.id/
No comments:
Post a Comment