VI. PENUTUP
Bila kita bersedia untuk menjadi seorang penolong bagi orang traumatis, maka hal itu barulah satu langkah awal penyembuhan baginya. Langkah itu memang sulit. Sulit karena membutuhkan waktu. Sulit karena membutuhkan tenaga. Sulit karena membutuhkan pengorbanan untuk menjadi kawan seperjalanannya. Satu hal yang perlu diingat adalah orang traumatis tidak memerlukan “guru” yang memberikan nasihat seantero jagat lalu pergi begitu saja. Ia tidak memerlukan kata-kata, “Jangan sedih,” “jangan berduka,” “semua pasti baik-baik saja,” “serahkan pada Tuhan,” “ada rencana Tuhan yang indah dalam hidupmu,” “berdoalah terus,” dan seterusnya. Sekali lagi, ia tidak membutuhkan seorang “guru” dalam melewati masa traumanya; ia hanya membutuhkan orang yang mau menjadi kawan seperjalanannya.
Tapi itu baru satu langkah awal bagi orang traumatis. Lantas apa langkah berikutnya? Langkah berikutnya adalah ia memerlukan komunitas penyembuh (community of healing), bukan komunitas "pembunuh" (community of killing). Bila orang yang mengalami trauma adalah orang yang sudah percaya maka kita perlu menyadari bahwa ia adalah anggota tubuh Kristus. Dengan demikian ia membutuhkan anggota lainnya untuk mendukung, melindungi, dan memahaminya. Itulah community of healing. Rasul Paulus benar ketika ia mengatakan, “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita . . .” (1Kor. 12:26a). Di manakah seharusnya community of healing itu didapatkan? Rumah Tuhanlah yang seharusnya menjadi komunitas tersebut.
Sebab itu, peran sang penolong tidaklah cukup sampai pada orang traumatis saja. Seyogyanya ia akan berusaha untuk mempengaruhi anggota-anggota tubuh Kristus untuk menjadi komunitas yang siap menerima orang traumatis apa adanya. Komunitas yang menjadi tempat perlindungan baginya. Komunitas yang menjadi tempat paling aman dan nyaman di dunia ini. Komunitas yang tidak bisa didapat di dunia ini selain di dalam rumah Tuhan. Soli Deo gloria!
Bila kita bersedia untuk menjadi seorang penolong bagi orang traumatis, maka hal itu barulah satu langkah awal penyembuhan baginya. Langkah itu memang sulit. Sulit karena membutuhkan waktu. Sulit karena membutuhkan tenaga. Sulit karena membutuhkan pengorbanan untuk menjadi kawan seperjalanannya. Satu hal yang perlu diingat adalah orang traumatis tidak memerlukan “guru” yang memberikan nasihat seantero jagat lalu pergi begitu saja. Ia tidak memerlukan kata-kata, “Jangan sedih,” “jangan berduka,” “semua pasti baik-baik saja,” “serahkan pada Tuhan,” “ada rencana Tuhan yang indah dalam hidupmu,” “berdoalah terus,” dan seterusnya. Sekali lagi, ia tidak membutuhkan seorang “guru” dalam melewati masa traumanya; ia hanya membutuhkan orang yang mau menjadi kawan seperjalanannya.
Tapi itu baru satu langkah awal bagi orang traumatis. Lantas apa langkah berikutnya? Langkah berikutnya adalah ia memerlukan komunitas penyembuh (community of healing), bukan komunitas "pembunuh" (community of killing). Bila orang yang mengalami trauma adalah orang yang sudah percaya maka kita perlu menyadari bahwa ia adalah anggota tubuh Kristus. Dengan demikian ia membutuhkan anggota lainnya untuk mendukung, melindungi, dan memahaminya. Itulah community of healing. Rasul Paulus benar ketika ia mengatakan, “Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita . . .” (1Kor. 12:26a). Di manakah seharusnya community of healing itu didapatkan? Rumah Tuhanlah yang seharusnya menjadi komunitas tersebut.
Sebab itu, peran sang penolong tidaklah cukup sampai pada orang traumatis saja. Seyogyanya ia akan berusaha untuk mempengaruhi anggota-anggota tubuh Kristus untuk menjadi komunitas yang siap menerima orang traumatis apa adanya. Komunitas yang menjadi tempat perlindungan baginya. Komunitas yang menjadi tempat paling aman dan nyaman di dunia ini. Komunitas yang tidak bisa didapat di dunia ini selain di dalam rumah Tuhan. Soli Deo gloria!
No comments:
Post a Comment