Roma 8: 37
“Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.”
"KEAJAIBAN yang hilang," mungkin itulah istilah yang paling pantas diberikan bagi perekonomian Indonesia sejak tahun 1998. Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Faktor-faktor yang mempercepat efek negatif perekonomian negara antara lain: menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat, ketidakpastian kepemimpinan pasca Soeharto, sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia.
Semua rakyat dan termasuk orang Kristen pun turut menderita. Sampai saat ini pun krisis ekonomi masih dirasakan kita. Banyak orang takut kalau-kalau perusahaan mem-PHK dirinya. Banyak orang merasa stress dan akhirnya jatuh sakit karena tempat usahanya semakin sepi pengunjung. Dalam kunjungan beberapa waktu lalu, saya menjumpai seorang jemaat yang menunggu tokonya. Dia berkata, “Toko saya sangat sepi. Dan tahun ini paling sepi. Tahun 2008 adalah tahun yang paling sulit.” Penderitaan itu sangat dekat dengan kita.
Tatkala kita mengalami penderitaan, entah itu kesulitan ekonomi, kesehatan yang terganggu, situasi-situasi tertentu yang menekan dan menjepit kita, maka apa yang perlu dilakukan? Kitab Roma akan memberikan jawabannya. Berbicara soal penderitaan, orang-orang Kristen di kota Roma pun juga mengalaminya. Mereka sering mengalami ketertekanan batin yang luar biasa karena sering dikejar, dianiaya, dibunuh demi mempertahankan iman kristianinya. Mereka hidup dalam kondisi yang mengancam, serba tidak pasti, dan tidak tahu apakah mereka akan hidup esok harinya. Pernahkah kita merasakan kondisi yang tidak pasti seperti demikian?
Seorang pendeta Sri Lanka yang pernah duduk sekelas dengan saya berkata, “Saya benar-benar bisa menghayati apa artinya hidup bergantung pada Tuhan.” Dia baru bisa berkata demikian setelah dia hidup dan melayani di daerah konflik antara tentara nasional dan pemberontak. Di sana tembak-menembak sering terjadi dan mayat-mayat bergeletakan di jalan-jalan. Dan beberapa kali, teman saya ini nyaris tertembak. Selain itu, istrinya juga nyaris tewas. Pada waktu sang istri keluar dari rumah untuk mengunjungi suaminya, 3 menit setelah itu rumahnya terkena bom. Sesudah itu, mereka membangun rumah, tapi tak lama kemudian rumah barunya dijarah dan dibakar massa. Begitulah situasinya di sana. Sebab itu, ia berkata, “Aku tidak pernah tahu apakah aku akan hidup sampai hari esok?” Benar-benar ia hidup dalam situasi yang tidak pasti.
Mungkin seperti itulah situasi jemaat di kota Roma waktu itu. Mereka mengalami berbagai penderitaan yang membuat situasi kehidupan serba tidak pasti. Tapi apa yang Paulus katakan untuk menghibur mereka? Paulus menegaskan, “. . . dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang . . .” Dalam bahasa yang lain dikatakan, “. . . di dalam semuanya itu kita mendapat kemenangan yang sempurna . . .” (BIS). Bagaimana mungkin Paulus berkata bahwa kita adalah orang-orang yang mendapat kemenangan sempurna ketika ada penderitaan yang sangat nyata?
Banyak orang memang sering mengaitkan kemenangan dengan hal-hal yang kelihatan. Contohnya, orang yang mengalahkan persaingan bisnis dengan pesaingnya akan dianggap menang. Orang yang sakit lalu sembuh akan dianggap menang. Orang yang miskin lalu kaya akan dianggap menang. Orang yang juara/berprestasi dalam perlombaan dianggap menang. Inilah arti kemenangan pada umumnya.
Tapi arti kemenangan yang dimaksud Paulus berbeda. Paulus mengaitkan kemenangan yang sempurna dengan kasih Allah. Jelas sekali ia menambahkan alasan mengapa kita bisa menang, yaitu karena, “. . . oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Ini artinya dan sekaligus kunci kemenangan sempurna setiap orang Kristen. Kita menang karena Allah telah membuktikan kasih sayang-Nya melalui pengorbanan Kristus di kayu salib. Dan sekali Allah mengasihi kita, maka selamanya Ia akan terus mengasihi kita. Sebab itu, Paulus berkata dengan sangat agung: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan atau kelaparan atau ketelanjangan atau bahaya atau pedang? . . . Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah . . .” (ay. 35, 38-39). Inilah sebuah kemenangan, yaitu ketika kita tidak terpisah dari kasih Allah.
Kemenangan sempurna bukan berarti kita terlepas dari penderitaan. Kemenangan sempurna bukan berarti kita terlepas dari sakit penyakit. Kemenangan sempurna bukan berarti kita terlepas dari situasi-situasi yang penuh tekanan. Bukan itu. Tapi kemenangan sempurna berarti kita tidak terlepas dari kasih Allah.
Jangan pernah remehkan kuasa kasih Allah dalam kehidupan kita. Coba pikirkan. Tatkala kita menghadapi kesulitan yang besar atau bertubi-tubi, maka biasanya godaan untuk meninggalkan iman itu terbuka lebar. Perhatikan istri Ayub. Tatkala kesulitan yang dahysat mengguncang keluarganya, ia langsung berkata pada Ayub, “Kutukilah Allahmu dan matilah!” Lihatlah godaan untuk meninggalkan iman yang terbuka lebar untuk istri Ayub.
Seorang jemaat pernah bercerita tentang penderitaannya. Uangnya ditipu oleh koperasi puluhan juta, ia juga sedang mengalami sakit bertahun-tahun, selain itu ia sering mendapatkan tekanan dari keluarganya yang belum percaya. Bagaimana tanggapannya terhadap penderitaan-penderitaannya itu? Ia berkata, “Mengapa setelah menjadi orang Kristen aku merasa hidupku tidak semakin damai?” Di sini kita kembali melihat adanya godaan untuk meninggalkan iman tatkala kesulitan/penderitaan itu datang.
Penderitaan yang kita hadapi seringkali menyerang pertahanan benteng iman kita. Terlalu banyak serangan yang sesungguhnya dapat merobohkan iman kita. Tapi kita perlu berhenti sejenak untuk bertanya, apa yang membuat iman kita masih bertahan meski kita mengalami penderitaan? Kala badai masalah mengguncang kita, mengapa kita masih bisa bertahan? Jawabannya sederhana, itu karena Allah masih mengasihi kita. Pernahkah kita merenungkan akan hal ini. Kasih Allah itulah yang terus membuat kita tetap tegar dalam berbagai penderitaan. Kasih Allah itulah yang terus memelihara kesetiaan kita. Kasih Allah bagaikan sebuah energi tak kelihatan yang menguatkan dan menopang kita untuk mengarungi hidup yang ganas ini. Sekali lagi, jangan pernah remehkan kasih Allah bagi kehidupan kita. Karena itu, tidak heran, bila raja Daud pernah berkata, “Betapa berharganya kasih setia-Mu, ya Allah! Anak-anak manusia berlindung dalam naungan sayap-Mu” (Mzm. 36:8).
Di tengah situasi yang sulit dan serba tidak pasti seperti ini orang-orang bisa saja berkata bahwa keajaiban telah hilang. Harapan, semangat dan tenaga untuk meraih cita-cita tertentu telah hilang. Tapi ingat, janganlah kita terpaku pada hal-hal yang defisit. Mengapa? Karena ada satu hal surplus yang tidak pernah hilang dari kita, yaitu kasih Allah. Kasih Allah yang limpah ruah masih bisa kita alami dalam situasi apapun. Tidak ada satu hal pun yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Inilah kemenangan sempurna kita. Selamat menjadi pemenang!