Catherwood telah menjadi berkat bagi orang lain. Ia telah mengukir arti hidupnya. Hal yang sama pernah terjadi ribuan tahun lalu. Waktu itu ada seorang anak sedang mengikuti gerombolan orang yang takjub dengan aneka mukjizat yang dilakukan Yesus. Ada yang tua dan muda. Kira-kira 5000 orang lebih jumlahnya. Mereka perlu makanan setelah berjalan bersama Yesus sekian panjang. Yesus pun mengerti kebutuhan mendasar ini. Tapi masalahnya tidak ada makanan untuk sejumlah orang banyak itu.
Lalu apa solusinya? Yohanes 6: 8 mencatat, “Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-Nya: ‘Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?’” Andreas benar bahwa dalam hitungan matematika manusia 5 roti dan 2 ikan tidak akan cukup. Tapi kita sama-sama tahu bahwa kisah ini berakhir dengan happy ending. Yesus mengadakan mukjizat dan akhirnya semua orang dapat makan sampai kenyang. Bahkan roti dan ikan itu sisa banyak.
Kok bisa? Jelas itu terjadi karena kemahakuasaan Yesus. Tapi mari kita melihat dari sisi yang berbeda dari peristiwa itu, yaitu sisi sang anak yang membawa 5 roti dan 2 ikan. Meski peran anak itu dicatat secara samar dan hanya dicatat dalam satu ayat (ay. 9), namun justru ia berperan penting dalam peristiwa itu. Kenapa demikian? Karena anak itu rela memberikan roti dan ikannya. Sangat mungkin anak itu membawa roti dan ikan sebagai bekal yang cukup bagi dirinya. Dan sangat mungkin anak itu tidak menyembunyikan bekalnya tersebut. Tapi pada kenyataannya, ia rela memberikan roti dan ikannya. Dengan kata lain, ia rela menjadi berkat.
Apakah kita rela menjadi berkat? Hah . . . rela menjadi berkat? Ya jelas semua orang ingin menjadi berkat. Siapa sih yang tidak mau? Hmmm . . . tunggu dulu! Memang sangat mungkin semua orang ingin menjadi berkat, tapi itu sebuah wacana. Sebuah ide. Sebuah gagasan. Di lapangan belum tentu. Kenyataannya, tidak banyak orang Kristen yang rela menjadi berkat bagi sesamanya. Tidak banyak orang Kristen yang rela “dipecah” bagi sesamanya.
Ah tak usah jauh-jauh melihat contohnya. Di rumah Tuhan sendiri ada orang-orang yang tidak rela menjadi berkat bagi sesamanya. Berapa banyak jemaat yang tidak mengambil pelayanan apapun di gereja? Heran, sudah lama ia beribadah, tapi ia belum melakukan apapun di rumah Tuhan. Bukan hanya itu, sudah lama ia mendapatkan pelayanan dari rekan-rekan seimannya, tapi ia belum melakukan hal yang sebaliknya bagi rekan seimannya. Ia bagaikan pengemis yang maunya menerima pelayanan dari orang lain. Nah inilah contoh orang yang tidak rela menjadi berkat. Ada juga kan di gereja Anda?
Tapi mungkin ada orang yang berkata bahwa dirinya tidak bisa melakukan apa-apa di dalam gereja. Ia tidak memiliki kemampuan atau karunia untuk memberikan kontribusi bagi rumah Tuhan dan sesama jemaat. Ia merasa tidak berarti. Orang lain pun menganggapnya tidak berarti.
Sama seperti Andreas, saudara Simon Petrus, yang pesimis dan berkata, “tetapi apakah artinya itu [5 roti dan 2 ikan] untuk orang sebanyak ini?” Apa yang dipunyai anak itu hanyalah 5 roti dan 2 ikan yang tiada artinya bagi orang lain. Bahkan Andreas pun mengatakan demikian. Tapi lihatlah, apa yang dianggap tidak berarti bagi manusia justru dipakai Tuhan untuk memberkati sedemikian banyak orang. Nothing disulap menjadi something, di tangan Tuhan. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan dirinya tidak berarti. Yang terpenting, sama seperti anak kecil itu, ia rela menjadi berkat. Itu tugasnya. Itu bagiannya. Rela menjadi berkat. Selanjutnya, terserah Tuhan!
No comments:
Post a Comment