Galatia 5: 22-25
“Tetapi buah Roh ialah: . . . penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.”
Hari ini kita akan memikirkan tentang penguasaan diri yang dikaitkan dengan cara mengelola kemarahan kita. Dalam bahasa aslinya, penguasaan diri berarti suatu tindakan yang dilakukan seseorang untuk menguasai keinginan atau ambisi pribadi. Hal ini tidak berarti kita tidak boleh memiliki keinginan atau ambisi. Akan sangat berbahaya sekali bila kita hidup tanpa memiliki keinginan sekecil apapun. Mungkin itu pertanda bahwa kita terserang depresi. Nah penguasaan diri yang dimaksud Paulus itu berbeda. Boleh saja kita memiliki keinginan atau ambisi, tapi kita perlu keterampilan untuk menguasainya. Boleh saja kita memiliki dan bahkan mewujudkan keinginan, tapi kita perlu mengelolanya. Kira-kira itulah pengertian dari penguasaan diri dalam ayat yang kita baca.
Nah sekarang, bagaimana dengan keinginan untuk marah? Apakah saya boleh marah dengan seseorang? Dalam pandangan Alkitab, kemarahan bukanlah satu hal yang tabu. Alkitab mengizinkan kita untuk marah. Yesus pun juga pernah marah, bahkan marah dengan sangat hebat. Jadi, kemarahan adalah satu tindakan yang manusiawi dan diperbolehkan.
Yang tidak diperbolehkan adalah kemarahan yang tak dapat kita kuasai lagi. Seakan-akan ia bagaikan ledakan api yang besar dan sudah tak dapat kita tangani. Ledakan yang sangat kuat dan berdampak luas. Ia sudah lagi bukan seperti api yang membakar kayu bakar, melainkan ia sudah membakar seluruh areal hutan. Kemarahan seperti demikianlah yang perlu dikuasai.
Sebelum kita membahas cara mengelola kemarahan, mari kita melihat bahaya kemarahan yang tak terkuasai pada diri kita: (1) Dalam 10 penelitian, orang yang tak dapat menguasai kemarahan memiliki risiko tingkat kematian 40 persen lebih tinggi daripada orang yang mampu menguasai kemarahan. (2) Harvard Medical School yang melakukan riset pada 1623 orang menunjukkan bahwa kemarahan tak terkendali dapat menggandakan risiko serangan jantung. (3) American Heart Association yang melakukan riset pada 13.000 orang dewasa menunjukkan bahwa orang yang pemarah dapat meningkatkan risiko serangan jantung hingga 3 x lebih tinggi daripada orang lain. (4) Kemarahan yang tak terkuasai seringkali membawa seseorang pada penyiksaan anak, pembunuhan, agresi, dan depresi.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita mengelola kemarahan? Bagaimana caranya agar di satu sisi kita bisa marah tapi di sisi yang lain kita tidak terjerumus pada kemarahan yang meledak? Bagaimana pengelolaannya? Sebenarnya ada banyak cara, tapi saya hanya kemukakan tiga cara yang dapat kita lakukan tanpa bantuan orang lain.
1. Ciptakanlah saat teduh kita.
Berapa banyak di antara kita yang tidak menikmati saat teduh dalam saat teduhnya? Bagi sebagian orang Kristen, saat teduh berarti saya membaca firman, merenungkan, dan berdoa. Tapi berapa banyak kita bersaat teduh dalam saat yang teduh? Bukankah seringkali kita bersaat teduh dengan suasana yang tidak teduh, pikiran yang tidak teduh, emosi yang tidak teduh, dan seterusnya?
Mari kita ciptakan saat teduh kita. Apakah kita memiliki ruang atau tempat khusus di mana tidak ada orang yang menginterupsi kita? Apakah kita memiliki waktu privat di mana kita memutuskan segala hubungan (spt. mematikan HP) dengan orang lain untuk sejenak waktu? Apakah kita memiliki waktu rileks di mana kita melupakan segala tuntutan dari luar? Pernahkah kita melakukan teknik relaksasi?
Saat yang teduh sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh dengan tuntutan dan masalah. Semakin kita terampil menciptakan saat-saat teduh, maka kita akan semakin mudah mengelola kemarahan kita.
2. Buanglah mitos-mitos yang kita percayai.
Terkadang bahkan seringkali kita hidup dalam perbudakan mitos-mitos. Mitos-mitos inilah yang sebenarnya justru akan membuat kita mudah marah, mudah tersinggung, dan sulit mengelola kemarahan. Bisakah Anda menyebutkan mitos-mitos di sekitar kita? (1) Saya adalah orang penting di tempat ini, maka saya tidak perlu dikritik, (2) Saya adalah orang yang mendalami pelajaran tertentu, maka sayalah yang paling tahu soal itu, (3) Saya adalah orang tua, maka apa yang saya katakan harus diterima orang yang lebih muda, (4) Saya adalah orang tua, maka orang yang lebih muda harus meminta maaf kepada saya terlebih dahulu, (5) Saya tidak boleh kalah dari kita, bila saya kalah maka saya tidak memiliki harga diri. Dan seterusnya. Mitos-mitos itu seringkali melestarikan kemarahan terpendam, atau membuat kita mudah tersinggung.
3. Dimpimpin oleh Roh Kudus (ay. 25)
Nasihat rasul Paulus untuk menguasai diri adalah membiarkan diri kita dipimpin oleh Roh Kudus. Arti sederhana dari dipimpin oleh Roh Kudus adalah membiarkan diri kita dipengaruhi banyak oleh firman Allah. Kita hidup dalam nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan tuntutan yang kadangkala memunculkan mitos-mitos di atas. Mengapa kita bisa dipengaruhi oleh mitos? Salah satu kemungkinan adalah karena kebenaran-kebenaran sejati itu tidak memasuki kehidupan kita secara banyak. Kalau kita mau bertanya dengan jujur, manakah yang lebih banyak memengaruhi kehidupan kita: kebenaran firman Allahkah atau mitos-mitos di sekitar kita? Mari kita lebih banyak membiarkan diri kita dipengaruhi oleh firman Allah.
Wednesday, April 23, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment