Lukas 22: 54-62
Darimana datangnya lintah?
Dari sawah turun ke kali.
Darimana datangnya cinta?
Dari mata turun ke hati.
Pantun tadi mau mengatakan bahwa mata itu adalah penting. Mungkin saking pentingnya, banyak ungkapan muncul dengan menggunakan kata “mata”. Contohnya: sebuah benda kenangan disebut cindera mata. Pria yang senang melihat para wanita disebut mata keranjang. Orang yang berjalan-jalan di mall disebut cuci mata. Pak Polisi yang dengan mudahnya disuap disebut mata duitan. Orang yang suka mengintip rahasia orang lain disebut mata-mata. Dan seterusnya.
Mata itu sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan kita. Sampai-sampai saya mendengar ada orang yang mengatakan, “Lebih baik saya tuli daripada buta. Tidak enak kalau tidak bisa melihat apa-apa. Gelap semuanya.” Tapi saya kira, mata itu bukan hanya berfungsi untuk melihat; mata itu ternyata juga dapat mengisyaratkan sebuah arti. Mungkin ketika kita minder karena diajak bicara oleh orang yang kita segani, maka tatapan mata kita cenderung melemah, dan kadang tidak berani menatap matanya terlalu lama. Tapi bagaimana kalau kita marah? Mungkin tatapan mata kita menjadi tajam, tegas, berani menatap orang lain dengan lebih lama, dan seterusnya. Jadi, mata itu dapat memberikan arti tertentu.
Lalu apa artinya pandangan Yesus kepada Petrus dalam perikop yang kita baca? Apa arti tatapan mata Yesus saat itu? Arti tatapan mata Yesus pada waktu itu hanya satu, yaitu tatapan kasih karunia. Coba bayangkan situasinya. Waktu itu Yesus sedang berada di dekat kerumunan orang banyak. Mereka berkumpul karena ingin menyaksikan pengadilan Yesus yang dilakukan oleh Imam Besar. Mata mereka terus menatap dengan tajam dan kejam kepada Yesus, mereka ingin agar Yesus direndahkan di depan umum. Mata orang banyak itu terus menatap Yesus, dan wajah Yesus terus menunduk. Mata-Nya yang suci itu terus melihat ke bawah. Yesus hanya tertunduk dan terdiam di tengah-tengah kerumuman orang banyak.
Di tengah-tengah orang banyak itulah, Petrus menyangkal Yesus. Petrus kali itu lupa akan janji setianya kepada Yesus. Petrus lupa bahwa ia pernah berjanji kepada Yesus, “Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau.” Sebab itu, pada saat ia harus membuktikan janjinya di tengah kerumunan orang banyak, Petrus gentar. Tiga kali ia ditanya, tiga kali pula ia berkata, “Aku tidak mengenal Yesus.” Dan pada saat Petrus menyangkal Yesus untuk yang ketiga kalinya, Yesus yang tadinya hanya menunduk dan menatap ke bawah, tiba-tiba Yesus menengadahkan kepala-Nya dan menatap Petrus. Tatkala banyak orang menatap Yesus, Yesus menerobos tatapan mereka demi menatap Petrus satu-satunya.
Tatapan kasih karunia itu menatap Petrus. Tatapan kasih karunia itu menggetarkan hati Petrus. Tatapan kasih karunia itu membuat Petrus menangis dan menyesali perbuatannya. Melalui tatapan kasih karunia itu, seakan-akan Yesus berkata Petrus, “Simon, Simon, meskipun engkau menyangkalku tiga kali, tetapi Aku tetap mengasihi-Mu.” Inilah sebuah tatapan kasih karunia Yesus.
Jadi, apa itu kasih karunia? Kasih karunia adalah kebaikan hati Allah yang tidak pantas diberikan kepada manusia. Kasih karunia merupakan sesuatu yang tidak kita peroleh melalui perbuatan dan tidak layak kita terima. Tidak ada cara untuk memperolehnya atau berhak untuk mendapatkannya atau mengadakannya. Jadi, kasih karunia adalah pemberian yang diberikan bukan karena si penerima telah melakukan sesuatu.
Di PMI ada satu peraturan yaitu jika kita menyumbangkan darah sebanyak 100 kali maka kita akan mendapatkan kesempatan untuk bersalaman dengan Presiden serta mendapatkan penghargaan langsung dari beliau. Bila kita akhirnya berjumpa dengan Presiden karena menyumbang darah 100 kali, maka itu bukan lagi kasih karunia. Itu karena kita memang layak mendapatkannya.
Bila UNS mensyaratkan seluruh pengajarnya harus memiliki S2 dan kita ternyata memenuhi persyaratan itu lalu mengajar, maka itu bukan lagi kasih karunia. Itu karena kita memang layak mendapatkannya.
Bila di perusahaan memiliki kesempatan untuk naik jabatan karena dapat menyelesaikan tugas tertentu dan kita ternyata memenuhi persyaratan tersebut lalu naik jabatan, maka itu bukan lagi kasih karunia. Itu karena kita memang layak mendapatkannya.
Kasih karunia itu berbeda. Kasih karunia itu seperti ini:
Kita diberikan udara tanpa membayar sepeser pun kepada Tuhan. Itulah kasih karunia. Kita diberikan sinar ultraviolet untuk menguatkan tulang tanpa membayar sepeser pun kepada Tuhan. Itulah kasih karunia. Bila kita berhutang sekian milyar kepada bank lalu bank itu membebaskan hutang tanpa kita melakukan sesuatu, maka itulah kasih karunia. Bila kita bisa masuk di universitas yang terkenal bukan karena kita kaya, melainkan karena ada orang yang mendanai, maka itulah kasih karunia. Dan, jangan pernah lupa yang satu ini, bila kita diselamatkan dari maut, itu juga adalah kasih karunia. Banyak orang dan agama mengajarkan tentang perbuatan baik agar kita dapat selamat dari maut. Tapi kekristenan mengajarkan bahwa tidak ada satu pun perbuatan baik yang layak untuk menyelamatkan kita dari maut. Hanya karena Allah mau mengutus Putera-Nya ke dalam dunia sajalah yang meluputkan kita dari kuasa maut. Itulah kasih karunia terbesar dari Allah. Jadi, sekali lagi, kasih karunia diberikan bukan atas dasar perhitungan kelayakan; melainkan karena si pemberi itu mau memberikannya. Sudahkah kita merasakan kasih karunia Allah? Bagaimana rasanya?
II. Apa Jadinya bila Dunia Tanpa Kasih Karunia?
Saya mengajak kita untuk merenungkan apa akibatnya bila kita hidup di dalam dunia yang tanpa kasih karunia? Kemungkinan-kemungkinan seperti apa yang akan terjadi dalam dunia ini?
· Menyuburkan tingkat kejahatan
Manusia kalau sudah dirasuki dendam biasanya berakhir dengan tindak pidana. Bisa saja ia menyakiti, melukai, atau bahkan membunuh. Gunawan Santoso, 40 tahun, tergolong orang yang memilih untuk membunuh demi memuaskan dendamnya. Namanya tiba-tiba melejit ke permukaan karena pembunuhan terhadap bos PT. Asaba yang juga merupakan mantan mertuanya. Gunawan Santoso balas dendam karena ia pernah dijebloskan ke penjara akibat penggelapan uang sebesar 40 miliar dari anak perusahaan Asaba. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Inilah potret nyata dari kehidupan tanpa kasih karunia.
Satu kisah lagi mengenai kehidupan yang tanpa kasih karunia. Heidi Murphy, seorang wanita Australia tewas dengan sangat mengenaskan di Bali. Ia mengalami luka tikam yang dilancarkan pembunuhnya berkali-kali. Setidaknya ada 16 luka tikam. Satu di leher, yang lainnya di punggung, di sekitar telinga, dan tangannya. Dalam peristiwa pembunuhan tersebut, barang-barang dari wanita yang berusia 34 tahun ini tidak hilang satu pun. Itulah sebabnya, Polisi menduga bahwa pembunuhan itu bermotifkan balas dendam. Salah satu saksi menerangkan bahwa ada pekerja yang sakit hati terhadap Murphy karena ia tidak membayarkan sejumlah uang pada pekerja tersebut. Dan karena sakit hati itulah, ia melakukan pembunuhan. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Inilah potret kehidupan tanpa kasih karunia.
Apa yang kita lihat dari kedua kasus nyata tadi? Para pembunuh mungkin berkata bahwa, “Aku membunuh atas nama keadilan. Perbuatannya harus dibalas.” Tapi apa jadinya? Ia justru menambah satu kejahatan yang berikutnya. Mahatma Gandhi pernah berkata, “Kalau semua orang mengikuti prinsip keadilan “mata ganti mata” maka akhirnya seluruh dunia akan buta.” Sebab itu, kehidupan yang tanpa kasih karunia justru akan menyuburkan tingkat kejahatan.
· Menyuburkan tingkat perceraian
Hari ini tingkat perceraian yang dilaporkan dari berbagai media massa terus meningkat. Kalau dulu perceraian adalah satu hal yang sangat dihindari dan sangat memalukan, tapi sekarang perceraian mungkin sudah nyaris menjadi hal yang lumrah. Apa alasan perceraian? Alasan-alasan yang umum adalah saya sudah tidak cocok dengan dia, saya sering konflik dengannya, saya sering dicacimaki dan dipukul, saya melihat dia bersama wanita/pria lain, saya sudah tidak percaya lagi padanya, dan seterusnya.
Bila kita adalah pasangan yang terluka, maka orang yang melukai kita harus bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. Namun demikian, kita tetap bertanggungjawab atas kesembuhan kita. Andaikan kita berjalan di suatu tempat dan ada orang gila yang membabi buta memukuli kita, maka kita tentu bertanggungjawab untuk menyembuhkan dan memulihkan kondisi tubuh kita. Adalah hal yang lucu bila kita hanya menyalahkan orang gila itu sambil mendiamkan luka-luka di sekujur tubuh kita sendiri. Dalam pernikahan juga sama, kita pun juga bertanggungjawab untuk kesembuhan diri kita.
Tapi masalah umum yang sering terjadi adalah pasangan yang merasa menjadi korban itu terus menyalahkan lawan pasangannya. “Kamu yang membuat aku begini, kamu yang salah, kamu yang harus minta maaf, kamu yang harus bertanggungjawab, dan seterusnya.” Sebaliknya, lawan pasangannya pun menjadi terluka dan membalas: “Kamulah yang menyebabkan aku selingkuh, kamu selama ini tidak pernah mencukupi kebutuhan seksku, kamu selama ini tidak memperhatikanku, kamu tidak pernah mengerti aku, kamu hanya menuntut, dan seterusnya.” Inilah sebuah kehidupan rumah tangga yang tanpa kasih karunia. Apa jadinya bila kondisi pernikahan yang demikian diteruskan? Terjadilah perceraian, baik secara hukum, atau secara hubungan. Sebab itu, sebuah kehidupan rumah tangga tanpa kasih karunia justru akan menyuburkan tingkat perceraian.
· Menyuburkan tingkat penyakit depresi
Paul Tournier, seorang dokter Swiss, mengatakan, “Fakta tragis yang sangat jelas bahwa agama justru bisa menghancurkan dan bukannya membebaskan.” Apa maksudnya? Tournier menceritakan tentang pasien-pasien yang datang padanya. Apa yang sebenarnya dicari pasien-pasien ini adalah kasih karunia. Namun di beberapa gereja mereka menemukan rasa malu, ancaman, hukuman, perasaan dihakimi. Singkatnya, ketika mereka mencari kasih karunia di gereja, seringkali mereka menemukan ketiadaan kasih karunia. Lalu apa jadinya? Jadinya adalah depresi: suatu masalah psikologis yang menurunkan semangat hidup, mengganggu pola makan, pola tidur, dan bisa mengarah pada usaha untuk bunuh diri.
Mungkin kasus yang dialami oleh Horatio Gates Spafford dapat menjelaskan maksud saya. Spafford, orang Amerika ini adalah pengarang lagu “Nyamanlah Jiwaku”. Apa yang terjadi pada hidupnya? 8 Oktober 1871 keluarganya mengalami musibah kebakaran di kota Chicago. Ia kehilangan banyak sekali barang-barang investasi yang ia miliki. Hampir seluruhnya habis terbakar. Dan yang lebih menyedihkan adalah ia kehilangan putranya. Selanjutnya, 21 Nopember 1873, ia kembali mengalami musibah yang lebih memukulnya. Waktu itu istri dan keempat putrinya sedang berlayar ke Eropa untuk berlibur. Tapi apa yang terjadi? Dalam pelayarannya, kapal itu bertabrakan dengan kapal lainnya sehingga mengakibatkan 226 orang hilang di tengah lautan. Sang istri masih selamat, namun keempat putrinya meninggal. Setelah musibah itu, Spafford kembali memiliki dua anak, putra dan putri. Namun pada usia yang keempat, putranya meninggal dunia karena demam yang sangat tinggi. Spafford mengalami depresi. Ia sangat haus akan kasih karunia.
Tapi yang mungkin membuat dia lebih depresi adalah ia justru tidak mendapatkan kasih karunia dari gereja. Gereja menghakimi dia dengan mengklaim bahwa dia terkena kutukan dari Tuhan. Gereja “membuang” dia. Dunia mungkin kejam, tapi gereja juga tidak kalah kejamnya dengan dunia. Spafford makin depresi, hingga ia menganggap dirinya sebagai Mesias. Karena merasa dirinya Mesias, maka Spafford dan istrinya pergi ke Yerusalem hingga kematiannya. Inilah sebuah potret kehidupan tanpa kasih karunia. Ketiadaan kasih karunia justru menyuburkan jumlah orang yang terkena depresi.
III. Dicari: Agen Kasih Karunia
Dengan sangat baik Philip Yancey mengatakan, “Kasih karunia adalah pemberian terbesar kekristenan bagi dunia, sinar rohani di tengah kita yang memiliki kekuatan lebih daripada kekerasan, lebih kuat dari rasisme, lebih kuat daripada kebencian.” Dunia membutuhkan agen-agen kasih karunia. Semakin banyak agen kasih karunia, maka dunia yang kita tinggali akan semakin lebih baik lagi. Dengan cara bagaimana kita dapat menjadi agen kasih karunia? Dengan memberikan pengampunan, itu cara paling utama agar kita dapat menjadi agen kasih karunia di dunia ini.
Tony Campolo, seorang pendeta dan sekaligus profesor Sosiologi di Amerika, pernah bertanya pada mahasiswa di universitas sekuler tentang apa yang mereka ketahui tentang Yesus. Apa saja tentang Yesus. Rata-rata mereka menjawab, “Kasihilah musuhmu.” Dibandingkan dengan pengajaran Kristus yang lain, yang satu itu rupanya paling menonjol bagi orang tidak percaya. Bagi orang-orang tidak percaya, tindakan mengampuni musuh bukan tindakan yang umum; itu bunuh diri. Mereka lebih senang menuntut pembalasan dengan mengatasnamakan keadilan. Dan bukankah semua orang berhak mendapatkan keadilan?
Apakah kita akan mengikuti pemikiran mereka? Sebelum menjawab, tolong pertimbangkan: Adakah keadilan yang bersifat adil yang sesungguhnya? Ketika bangunan WTC di Amerika diserang oleh teroris, maka pemerintah Amerika segera menabuh gendang perangnya. Armada militer yang gagah perkasa itu dikirimkan ke negara Afghanistan untuk memborbardir negara itu. Siapa yang diserang? Yang mana yang teroris? Siapa saja dan berapa banyak yang menjadi korban? Pemerintah Amerika sering menyebutkan penyerangan itu sebagai perang keadilan. Tapi apakah keadilan itu tercipta? Atau justru rakyat Afghanistanlah yang dibuatnya lebih menderita dari para korban WTC di Amerika?
Sampai-sampai Bunda Teresa pernah mengirim surat kepada Presiden A.S. George Bush: “Tolong pilihlah jalan perdamaian . . . dalam jangka pendek mungkin ada pemenang . . . tetapi tidak ada yang bisa menghitung rasa kehilangan, penderitaan, dan kehilangan nyaawa yang disebabkan oleh senjata kalian.” Bila rasa kehilangan, penderitaan, dan kehilangan nyawa tidak bisa dihitung, maka bagaimana pembalasan itu bisa diukur keadilannya?
Sebab itu, bila saat ini kita berencana untuk membalas sakit hati kepada orang yang tidak kita sukai, maka pikirkan apakah kita sedang berbuat adil? Ataukah sebenarnya, kita bermotifasi untuk membalas dendam? Bila balas dendam adalah motivasi kita, maka percayalah, kita tidak akan pernah berbuat adil.
Atau mungkin kita tidak mau menjadi orang Kristen yang seburuk tadi. Kita masih mau mengampuni orang yang menyakiti hati kita. Tapi ternyata, kita mau mengampuni, karena mau melihat dulu bagaimana orang itu. Sama seperti bangsa Armenia berkata pada bangsa Turki. “Akui kejahatan kalian pada kami, dan kami akan berhenti meledakkan pesawat terbang dan membunuhi diplomat kalian.” Di lain kesempatan, pemerintah Iran pernah berkata kepada pemerintah A.S.: “Kalau kalian meminta maaf atas kejahatan kalian, maka kami akan melepaskan semua sandera dengan selamat.” Kebanyakan orang secara sadar atau tidak sadar menyetujui pendapat filsuf Imanuel Kant yang mengatakan bahwa orang dapat dimaafkan kalau ia layak dimaafkan. Ini masalah harga diri, ini masalah kehormatan; dia yang lebih muda harus datang pada saya, dia yang salah harus datang pada saya, dan seterusnya.
Tapi, apakah ini sebuah kasih karunia bila orang baru dimaafkan kalau ia layak dimaafkan? Itu jelas bukan kasih karunia karena kita justru menjadikan pengampunan sebagai hukum timbal balik, hukum “mata ganti mata” dan “gigi ganti gigi”. Itu bukan pengampunan yang diminta dan dilakukan oleh Yesus. Pengampunan yang dimaksud Yesus adalah pengampunan yang tidak lagi memikirkan harga diri, kehormatan, keadilan, dan segala syarat-syaratnya. Pengampunan yang Yesus minta adalah pengampunan yang radikal, yang tanpa syarat, yang orang dunia tidak mampu lakukan.
Diectrich Bonhoeffer, orang yang pernah disiksa di bawah Nazi Jerman, pernah berkata hal yang indah, “Yesus tidak berjanji bahwa kalau kita memberkati musuh kita dan melakukan kebaikan pada mereka, lalu mereka tidak akan membenci atau menganiaya kita. Mereka pasti akan. Tapi sekalipun itu terjadi . . . bagi mereka, kita melakukan apa yang tidak bisa mereka lakukan.” Inilah pengampunan yang Yesus maksud. Pengampunan yang radikal, tanpa syarat, yang orang dunia tidak mampu lakukan.
Pengampunan seperti itulah yang dilakukan oleh Yesus kepada orang-orang yang menyalibkan Dia. Tatkala Yesus berada di atas kayu salib, Yesus menatap orang-orang yang menyalibkan Dia. Di situ ada prajurit Romawi, pemimpin agama, murid-murid-Nya yang meninggalkan diri dalam kegelapan, termasuk nama Anda dan nama kita yang turut menyalibkan Dia. Lalu Yesus menatap orang-orang itu dengan tatapan kasih karunia. Ia menatap orang-orang itu baik-baik, sambil berkata, “Ya Bapa ampunilah mereka.” Itulah tindakan seorang agen kasih karunia.
Hari ini kita mungkin terluka, marah, dendam, dengan orang-orang tertentu. Mungkin itu adalah orangtua, suami/istri, anak-menantu, mertua, saudara, saudara ipar, rekan kerja, rekan sepelayanan, hamba Tuhan, dan seterusnya. Kita tidak ingin lagi hidup satu rumah dengannya, kita tidak ingin menganggap dia ada di bumi ini, kita ingin dia celaka, dan seterusnya.
Bila itu adalah perasaan kita, maka bersyukurlah kepada Tuhan. Kenapa demikian? Karena, kita justru dapat menjadikan peristiwa itu sebagai laboratorium pengampunan kita. Kita tidak akan pernah tahu apakah kita termasuk orang yang bisa mengampuni atau tidak bila tidak ada peristiwa yang melukai hati kita. Dan tatkala kita berhasil mengampuni, rayakanlah prestasi rohani kita. Tuhan akan berkata, “Selamat, Anda telah menjadi agen kasih karunia-Ku.” Amin.
No comments:
Post a Comment