Masa kecil seharusnya menjadi masa yang menyenangkan. Masa yang indah untuk dikenang. Tapi hal itu tidak berlaku bagi si kecil Siao-Mei. Ia baru berusia 5 tahun. Ia belum tahu banyak tentang risiko menjadi seorang Kristen di negeri Tiongkok. Ia tidak tahu mengapa mereka harus berhati-hati jika mau bertemu teman-teman Kristennya. Ia juga tak terlalu paham mengapa ia dan ibunya harus membaca sobekan Alkitab dengan sembunyi-sembunyi. Hingga suatu saat, ia juga masih tidak tahu mengapa ia dan ibunya digelandang ke sebuah ruang jeruji besi.
Di sana mereka dikurung tak diberi makan. Ia bertanya pada ibunya, tapi ibunya diam seribu bahasa. Yang ia tahu saat itu hanyalah ia sangat kelaparan. Siao-Mei tidak tahan. Ia menangis sesenggukan. Kepala penjara berkata dengan sinis pada ibu Siao-Mei, “Tidakkah engkau kasihan kepada anakmu? Apa susahnya mengatakan kamu bukan orang Kristen lagi? Kalau kamu melakukan hal itu, maka kamu dan anakmu akan bebas.” Karena putus asa, maka ibunya pun setuju menyangkal imannya. Syaratnya, ibu Siao-Mei harus menyangkal Yesus dengan berteriak di hadapan 10.000 orang. “Saya tidak mau lagi menjadi orang Kristen!” demikian teriaknya. Akhirnya, mereka pun menghirup udara bebas.
Sesampainya di rumah, Siao-Mei berkata, “Mama, hari ini Yesus tidak senang dengan perbuatanmu.” Sang ibu berusaha menjelaskan bahwa ia terpaksa melakukan itu demi Siao-Mei yang menangis kelaparan. Mendengar penjelasannya, Siao-Mei langsung berkata, “Mama, saya berjanji jika kita kembali ke penjara karena Yesus, saya tidak akan menangis lagi.” Setelah Siao-Mei berkata demikian, ibunya kembali bersemangat menginjil. Tak lama kemudian, mereka pun kembali ditangkap dan dipenjara. Namun kali ini, Siao-Mei tidak mau menangis. Ia ingat janjinya. Entah sampai kapan mereka dipenjara, tapi yang pasti tangisan Siao-Mei tidak pernah lagi terdengar di sana. Siao-Mei hanyalah salah satu orang Kristen yang teraniaya karena kesetiaannya pada Yesus.
(Disarikan dari Bahana, volume 199, November 2007, halaman 41)
No comments:
Post a Comment